
Semoga Selamat Sampai Tujuan
From Gyan’s Point of View
—
“Yakin lo mau nyetir balik sendirian? Udah jam — ” Edgar melirik pada jam tangannya sekilas. “ — setengah tiga, Gy. Jalanan udah sepi banget.”
Kugelengkan kepalaku sambil tersenyum tipis, menolak dengan halus. “Nggak papa, nanti yang ada lo malah repot cari kendaraan buat balik dari apartemen gue. Udah jam segini juga, agak susah cari driver.”
“Urusan gampang itu,” ujarnya mencoba meyakinkanku. “Lagian gue laki-laki, mau naik apa juga gak masalah. Jalan kaki juga aman.”
“Jangan gila, Gar.”
Dia terkekeh menanggapi, “Kalo itu memang agak gila, sih.”
“Asli, gue nggak papa nyetir sendirian. Gue udah biasa,” ujarku tenang, kali ini aku yang mencoba meyakinkan Edgar.
Kuceritakan padanya tentang pengalamanku memulangkan beberapa teman yang mabuk berat di club. Januar salah satunya, yang terparah sejauh ini.
Kuamati ujung bibir Edgar terangkat tinggi tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan, sesekali suara tawa renyahnya terdengar kala ia menimpali ceritaku.
“Sayangnya cerita-cerita lo gak bikin gue berubah pikiran, Gy. Tetep gue anter, ya?” Edgar mencoba menawarkan diri sekali lagi, tapi aku tetap pada pendirianku.
“Gar, please.”
Terpaksa, ia menerima dan berpasrah atas keputusanku. “Okay, okay, gue gak maksa.”
Kuakui jalanannya memang gelap dan agak mengerikan, tapi menjadi lemah di depan lelaki yang masih agak asing buatku juga sama sekali bukan pilihan bagus.
Laju mobilnya mendadak melambat, aku sadar. Saat kulihat bayang wajahku di pantulan kaca, tampak kedua ujung bibirku membentuk senyum kecil — kali ini tanpa sadar.
Nggak mau cepetan pisah, ya?
Stay for tonight,
If you want to —
“Lagunya udah balik ke awal, mau play lagu lain?” tawarku mencoba memecah keheningan yang sempat menyergap kami berdua selama beberapa saat.
“Up to you, tapi ini udah deket.”
Yah, Edgar benar. Bangunan tinggi yang menjadi tempat Edgar tinggal sudah tampak bayang megahnya — oh, ternyata dia dan Januar tinggal di gedung apartemen yang sama. Sudah hafal di luar kepala, selambat-lambatnya hanya membutuhkan waktu lima menit hingga kendaraan yang membawa kami ini tiba di lobby gedung.
Dan setelah sampai, kami akan berpisah.
Entah mengapa ada sedikit perasaan tak rela yang kian bertambah seiring semakin dekatnya mobil ini ke tujuan; seakan momen yang baru saja berhasil kunikmati ini direnggut paksa dariku.
Perasaan apa, ini?
Sungguhan, gue nggak rela.
“Okay, I won’t play anything,” putusku seraya mengembalikan ponsel miliknya.
Biarkan saja sunyi menyelimuti, aku ingin menikmatinya walau hanya sebentar. Siapa tahu di tengah kesunyian itu degupan jantung — entah milik siapa — mengudara dan memenuhi seisi mobil, kan?
Punya gue, mungkin?
“Nanti hati-hati nyetirnya,” pesan Edgar saat dirinya memutar setir ke kiri dan mobil yang kami tumpangi mulai memasuki area apartemen tempat Edgar tinggal. Sudah benar-benar hampir sampai.
“Kalau sebelum 500 meter udah berubah pikiran, hubungin gue lewat manapun — DM Twitter atau Instagram — langsung gue susulin. Gue bakal on dan nungguin kabar dari lo, Gy.”
Can you stop, Gar? Gue nggak mau salting lagi.
Aku mengangguk menyetujui sambil berusaha keras menyembunyikan senyumku, “Kalo gue berubah pikiran.”
Lewat ekor mataku, kulihat Edgar menoleh dengan senyum di wajahnya lalu berujar pelan, “Semoga.”
Edgar menginjak pedal rem untuk menghentikan laju mobil, dan kalimat pengharapannya tadi menjadi akhir dari sesi night drive kami. Ada diam yang menghampiri selama beberapa menit sebelum akhirnya lelaki itu melepas sabuk pengaman dan mulai membereskan barang bawaannya.
Setelah beres dengan tas kecilnya di kursi belakang, dia menoleh padaku dengan tangannya yang terulur — meminta sesuatu. Kunaikkan alis mataku tinggi, melempar tatapan bertanya padanya. Lagi, si ramah ini memperlebar garis manis di bibirnya seraya menunjuk pada jaket kulitnya yang tersampir rapi di atas pahaku.
“Jaketnya, Gy. Atau mau lo bawa dulu?” tanyanya lembut.
“Boleh?” balasku spontan — nyaris tanpa berpikir. “Eh, maksud gue nggak papa gue bawa dulu buat dicuci, baru dibalikin ke lo.”
Salah tingkah, kugaruk bagian belakang kupingku yang tak gatal, “Nggak enak juga udah gue pake dari tadi.”
“Gak papa, santai aja. Gak perlu repot-repot, Gy.” Tawa renyah lolos dari bibirnya. “Kecuali lo mau bawa pulang supaya bisa balikin ke gue di lain kesempatan — kalo itu, boleh banget.”
Sebuah cengiran lucu tercetak di wajahnya. Sempat aku tersihir sebentar kala mengagumi garis-garis tegas di paras Edgar. Tampan, tetapi juga manis di saat yang bersamaan — sebelum akhirnya tersadar bahwa jika kuiyakan perkataannya barusan, sama saja aku menyetujui modusnya.
Batin dan otakku berdialog sejenak — menimbang-nimbang, sampai akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk mengembalikan jaket itu pada si empunya.
“Bawa aja, deh,” putusku dengan berat hati.
Aku jelas menginginkan adanya pertemuan lain, tapi, ah sudahlah.
Edgar mengangguk, mengambil jaketnya dari uluran tanganku yang kemudian ia sampirkan di pundaknya. Jemarinya sudah hampir terulur untuk membuka pintu mobil, tetapi mendadak urung. Kepalanya lantas ia tolehkan lagi padaku.
“Hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan. Kabarin gue kalo udah sampe, ya,” ujarnya sembari mengelus lembut puncak kepalaku. “Drive safely, Gyan.”
Jantung, tolong tenang sedikit, gue nggak mau dia dengar jeritan lo sekarang.
“Alright,” balasku seadanya, sebisanya, sebelum pintu
Gila, laki-laki ini gila banget.
Sudah lima belas menit Gyan duduk di dalam mobil yang dengan sengaja ia tepikan tak jauh dari area apartemen Edgar dan Januar. Tadi, Gyan menyetir keluar dari area lobby apartemen Edgar dalam keadaan sunyi. Ia sengaja tak memutar lagu apapun, untuk meresapi kesendiriannya.
Namun, semakin lama hening menyelimutinya, semakin ia merasa…kesepian?
Padahal kan ia sendiri yang menolak tawaran Edgar?
“500 meternya udah lewat, ya?” gumamnya — untuk yang kesekian kali — sambil celingukan, memastikan palang jalan di sekitarnya.
Dengan bibir yang mengerucut, gadis itu bersandar pada sandaran kursi kemudi seraya menghela napasnya berat. Bola matanya melirik beberapa kali pada ponselnya yang sengaja ia letakkan di kursi penumpang, menimbang-nimbang.
“Gue hubungin, atau enggak?”
Namun, membayangkan Edgar harus kembali beranjak dari apartemennya hanya untuk ia recoki soal antar-mengantar — yang tadi sempat ia tolak mentah-mentah tawarannya — membuat Gyan menggelengkan kepala, “Sadar, Gyan.”
“Okay,” gadis itu mulai menyalakan kembali mesin mobilnya. Ia sempatkan untuk menghela napas berat sekali, sebelum kakinya menginjak pedal gas dan beranjak dari sana. “Gue bisa, kok, balik sendiri.”