Screaming, Fighting, Kissing.

— in the rain.

yourdustbin
8 min readFeb 2, 2023

--

cw // kissing, harsh words

Dalam sebuah hubungan antara dua insan yang sudah berjalan lebih dari lima tahun lamanya, bertengkar karena perbedaan pendapat atau berbagai alasan lain — bahkan hal sepele sekalipun — tentunya bukan hal yang baru atau pun aneh lagi.

Malahan, bagi Olivia dan Eros pertengkaran sudah menjadi makanan sehari-hari mereka — mulai dari yang ringan sampai yang besar. Keduanya terbilang mudah mengekspresikan perasaan mereka; hampir tak ada kesulitan menyampaikan kemarahan atau pun kesedihan, tak sering mereka tutupi luka dan duka dalam diri. Semuanya selalu dibicarakan, hingga keduanya sampai pada mufakat.

Teriakan dan adu argumen yang melibatkan urat leher tentu tak terelakkan. Lebih sering Olivia, sih, yang berteriak karena Eros bukan tipe lelaki yang ketika marah intonasinya meninggi. Justru kebalikannya, kalau Eros sudah sangat marah, suaranya akan merendah dan dalam. Jauh lebih menakutkan.

Dan peringatan hari jadi mereka yang kelima tahun malam ini, sayangnya harus ditutup dengan teriakan dan adu argumen, lagi. Kali ini masalahnya adalah Jascha Kalingga. Agak sedikit lebih besar daripada biasanya.

“Aku udah bilang sama kamu, bukan aku yang nyuruh Jascha ke sana! Pasti kerjaan Mama sama Papa!” teriak Olivia membela dirinya, tak mau disalahkan. “Lagian ya, kamu pikir sendiri lah, untuk apa aku undang Jascha ke acara anniversary kita? Mau suruh dia duduk nungguin kita mesra-mesraan? Lucu.”

“Ya, mungkin aja kamu memang mau kasih tunjuk ke aku siapa laki-laki yang lebih direstui orangtuamu.” Balasan Eros tak kalah sengit; nada suaranya diusahakan tetap rendah, tetapi benar-benar menyakitkan untuk didengar.

“Udah gila!” hardik Olivia seraya membuang pandangannya keluar jendela, berusaha menyembunyikan lapisan tipis air yang membuat pandangannya mengabur. “Buat apa aku ngelakuin hal bangsat kayak gitu? Mau orangtuaku lebih kasih restu ke Jascha, kalau aku maunya sama kamu, gimana?!”

Masih belum merasa lega dengan jawaban yang dilontarkan Olivia, Eros mengendikkan bahunya tak acuh. “Cepat atau lambat, pasti bakal kejadian. Tahun ke tahun, aku cuma nunggu waktu sampai akhirnya aku bakal dipisahin sama kamu.”

“Apa sih, anjing?!” Semakin tersulut emosinya, Olivia lantas memegang setir dan menariknya ke bawah. Akibatnya, mobil yang membawa mereka jadi bergoyang dan agak oleng ke kiri. “Minggir, Ros!”

Namun, sebelum kendaraan beroda empat itu benar-benar berbelok ke pinggir dan menghantam pembatas jalan atau pengendara lain, Eros sudah lebih dulu mengambil alih kembali kemudinya. Ditepisnya pelan tangan Olivia yang tadi masih memegang setir.

“Lo udah gila?! Mau kita berdua celaka?!” Kali ini, teriakan Eros tak tertahankan. Ada amarah yang terselip di tiap tuturnya. “Jangan gegabah! Jangan bertindak tolol, Liv!”

“Lo juga mulutnya tuh, dijaga! Jangan fitnah gue sembarangan!” Air mata gadis itu mulai turun. Dadanya kembang kempis, dirinya merasakan gejolak emosi yang meledak-ledak usai mendengar teriakan penuh amarah lelaki di sampingnya.

Selalu, selalu begini tiap kali ada pembahasan tentang Jascha. Olivia memang paham tentang Eros dan insecurities-nya perihal restu. Lelaki itu sungguh menunjukkan keinginannya untuk bisa melangkah lebih maju dalam hubungan mereka, tapi Olivia sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa tentang itu.

Segala cara sudah pernah Olivia coba untuk meruntuhkan tembok tinggi yang dibangun oleh kedua orangtuanya antara mereka dengan Eros. Alasannya simpel, mereka tidak berdiri di sepatu yang sama.

Bahkan, ketika Eros menjadi satu-satunya jembatan penyambung hidup antara dirinya dengan rumah sakit — ya, Olivia seringkali tumbang mulai dari kram perut akibat siklus bulanannya, GERD, operasi usus buntu dan masih banyak lagi — tak pernah sekali pun orang tua Olivia melisankan tanda kasihnya, apalagi sampai mengumandangkan restu mereka untuk Eros.

Jangan harap.

“Kalo lo masih mau nuduhin gue yang enggak-enggak, turunin gue di depan situ. Gue bisa pulang sendiri!” Olivia berteriak lagi, air mata yang membasahi pipinya sudah terlampau deras, hampir mengalahkan derasnya hujan yang tiba-tiba mengguyur jalanan di jalur pulang mereka.

“Gak! Jangan aneh-aneh, Liv! Hujan!”

“Biarin!” Terdengar suara ‘klik’ dari sabuk pengaman yang dibuka kuncinya, lalu dilanjutkan dengan rusuhnya Olivia yang sibuk membereskan barang-barangnya. “Berhenti, atau gue buka paksa pintu mobilnya?!”

“Liv, please,”

“Oh, God,” Olivia sungguhan membuka door lock — dia memang selalu serius dengan ucapannya. “Ini gue bisa loncat kapan aja, jadi lo milih berhenti supaya gue bisa turun dengan aman, atau mau ada adegan laga di sini?”

Anjing.

Dengan terpaksa, Eros menyalakan lampu sein kiri dan perlahan menepikan mobilnya. Olivia menunggu sampai kendaraan yang mereka tumpangi itu benar-benar berhenti, lalu tanpa basa-basi lagi ia langsung membuka pintu dan keluar dari mobil.

Dengan langkah cepat Olivia berjalan menjauhi Outlander yang sebelumnya ia tumpangi bersama Eros. Persetan dengan air hujan yang membasahi kepalanya, baju dan melunturkan riasan nya. Ia tidak ingin ada di sini. Ia sedang tidak ingin melihat Eros.

“Liv!” panggil Eros sekuat yang ia bisa begitu dirinya turun dari mobil. Sempat terpikir sekilas untuk mengamankan dulu kendaraan beroda empat itu, tapi melihat bayang tubuh Olivia yang semakin menjauh, Eros pun mendengus dan langsung menyusul kekasihnya itu.

“Olivia!” Lelaki itu memanggil lagi sambil berlari. “Liv, ayo bicara dulu!”

Merasa dikejar, Olivia malah ikut berlari. Sepatu hak tinggi yang tadinya masih terpasang apik di kakinya, lantas ia lepas karena mengganggu pelariannya.

“Liv! Jangan kayak India gini, Liv!” teriak Eros lagi, masih berusaha mengejar Olivia. Melihat yang dipanggil tak kunjung mengindahkan panggilannya, Eros menjadi geram dan mempercepat laju berlarinya.

“Sial!”

Langkahnya ia buka lebar-lebar, tenaganya ia kerahkan sampai maksimal. Butir besar air hujan yang menghantam wajahnya — hingga masuk ke lubang hidung — tak lagi ia gubris. Pokoknya, yang menjadi fokus Eros saat ini adalah menghentikan Olivia.

Dalam sekejap, gadis bergaun hitam selutut itu berhasil tersusul. Saat jaraknya dengan sang gadis hanya bersisa sedikit, Eros memanjangkan lengannya untuk meraih pergelangan tangan Olivia dan menariknya; membuat sentakan supaya gadis itu berhenti.

Namun, karena mereka berdua berada dalam laju yang tak terbilang pelan, sentakan tiba-tiba Eros membuat keduanya menjadi limbung ke belakang dan jatuh. Untungnya, Eros sudah lebih dulu meraih kepala Olivia — melindunginya supaya tak berbenturan dengan trotoar.

Keduanya jatuh dalam posisi Olivia berada dalam rengkuhan lengan Eros. Kepala mungil gadis itu terlindung dengan apik, mendarat nyaman di dada kekasihnya.

Dalam posisi rebah, baik Eros atau pun Olivia membiarkan hening menyelimuti keduanya selama beberapa saat. Tak ada suara yang masuk ke rungu mereka selain bunyi klakson mobil, derai hujan yang menghantam tubuh mereka, dan detak jantung masing-masing yang lebih berisik dari biasanya.

Keduanya sibuk menstabilkan napas setelah bermain kejar-kejaran di bawah hujan. Hening baru meninggalkan mereka ketika air langit dengan kurang ajarnya masuk masuk lewat lubang hidung Eros dan membuat lelaki itu tersedak. Ia langsung bangun dari posisi rebahnya dan mencoba mengeluarkan air yang menyumbat pernapasannya.

Olivia tak tinggal diam, ia menepuk-nepuk punggung Eros untuk membantu kekasihnya. Meski masih merasa kesal, Olivia tak tega melihat Eros tampak kesulitan seperti itu.

“Udah?” tanya Olvia memastikan kondisi Eros saat lelaki itu sudah berhenti batuk-batuk. “Mau kuambilin minum dulu, di mobil?”

Olivia sudah hampir berdiri, namun dengan cepat Eros menarik gadis itu agar kembali jatuh—ke pangkuannya.

“Gak usah, mobilnya jauh.”

Masih merasakan lelah akibat berlarian, Olivia pun mengangguk menuruti kata-kata Eros. Air langit masih setia menghujani mereka dengan bulirnya yang besar-besar, tapi hal itu tak membuat mereka cepat beranjak dari sana. Keduanya kembali diam selama beberapa saat, sampai lagi-lagi Olivia yang membuka suara,

“Masih mau nuduhin aku lagi? Masih ngerasa aku sengaja ngerusak acara anniversary kita dengan cara ngundang Jascha?” Pertanyaan beruntun tanpa jeda itu dilontarkan oleh Olivia dengan nada menuntut. “Ayo, kalau masih merasa gitu tinggal bilang aja. Debat di sini, selesai di sini.”

Eros mengalihkan pandangannya ke kiri, menarik napasnya dalam guna menurunkan kadar emosinya. Setelah merasa lebih tenang, lelaki itu kemudian menggeleng, “Gak perlu diperpanjang, aku yang salah. Maaf karena aku sensitif masalah Jascha. Aku nggak berpikir panjang, tadi.”

“Bagus kalau kamu sadar,” balas Olivia puas. Setelah melewatkan satu helaan napas, Olivia meraih dagu Eros dengan jemarinya, lalu menuntun dengan lembut wajah lelakinya itu agar kembali berhadapan dengan miliknya. “Look at me,

Saat netra keduanya bertemu, Olivia menatap tajam pada bola kecokelatan milik Eros, menyelami hitamnya yang kini menatap balik sama tajamnya. Setelah saling mengunci tatap, Olivia berucap pelan,

“Kita udah pacaran lima tahun, dan selama itu juga kamu jelas tau siapa Jascha bagi aku. Sejak awal memulai hubungan ini, nggak sekalipun aku pernah kepikiran bakal end up sama Jascha, dan kamu juga jelas tau tentang itu.” Olivia menggerakkan ibu jarinya untuk mengelus dagu Eros, berusaha menyalurkan ketenangan untuk lawan bicaranya lewat sentuhan lembut.

“Tentang restu, jelas mengganggu — aku tau, tapi semua ini cuma masalah waktu, Ros. Jangan mikir tentang kita lagi nunggu waktu untuk berpisah, pola pikirnya dibalik; kita lagi nunggu waktu supaya nggak perlu berpisah. Kamu masih mau bangun masa depan sama aku, kan?”

Eros mengangguk. Awalnya ragu, tapi makin lama anggukannya terlihat makin yakin. “Mau. Aku masih mau, sayang.” Lelaki itu menggenggam tangan kekasihnya mantap. “Mau banget.”

Olivia mengangguk puas dengan jawaban Eros. Tangannya bergerak naik, kini mengelus pipi kekasihnya yang sudah dingin karena diguyur hujan, “Ke depannya, kita masih bakal berantemin Jascha lagi, nggak?”

“Hmm,” Eros memanyunkan bibirnya sedikit karena nama itu kembali meluncur dari bibir kekasihnya. Ia masih sedikit tidak terima. “gak tau juga, lihat nanti?”

Ish. Yang tegas dong jadi laki-laki.” Olivia memukul pundak Eros kesal. “Kalau ada yang masih ganggu pikiran kamu ya sini, omongin langsung. Aku tuh paling nggak suka masala — ”

Bibir Olivia yang mengoceh tanpa henti itu Eros bungkam dengan miliknya. Di samping rungunya sudah berteriak-teriak kepanasan mendengar deretan omelan dari kekasihnya, raut kesal di wajah sang gadis tampak begitu menggemaskan di mata Eros.

Olivia sempat memberontak, tetapi mendadak tenang setelah Eros mengelus punggungnya dengan lembut. Perlahan tapi pasti, Olivia terhanyut dalam ciumannya dengan sang kekasih yang tak menuntut, malahan mampu menenangkannya.

Sayangnya peraduan antara Eros dan Olivia tidak berlangsung lama. Bulir hujan mulai masuk ke sela-sela pertautan bibir mereka dan merusak suasana. Bulir berukuran besar-besar itu sukses menghancurkan kesyahduan mereka hingga membuat keduanya lantas menjauhkan wajahnya dari satu sama lain.

Dengan napas yang agak pendek-pendek — akibat saling berebut udara tadi —keduanya saling tatap. Eros menjilat bibir bawahnya sedikit, namun gadisnya menggeleng untuk memberi kode bahwa mereka sudah harus berhenti.

Menurut, Eros mengangguk dan mulai merentangkan tangannya lebar, “Last, yang mau peluk ayo acung tangan!”

“Aku!” Kedua ujung bibir Olivia terangkat naik, tinggi sekali. Lalu tanpa membuang waktu gadis itu menyambut rentangan tangan Eros, masuk ke dalam dekapannya. “Yang erat, ih!”

“Iya, iya.”

Kedua insan yang sudah basah kuyup itu masih sibuk tenggelam dalam dunia mereka sendiri — terhanyut dalam hangat tubuh yang coba mereka salurkan untuk pasangannya — ketika tiba-tiba sebuah suara menarik mereka kembali ke realita.

Sepasang pengendara motor meneriaki mereka dari jalan, “Mas, mobilnya masih nyala, Mas!” Yang membuat Eros dan Olivia sempat bertukar tatap sekilas sebelum sang adam menyahut cepat, “Oh iya, makasih, Mas!”

Malu, rasanya seperti tertangkap basah melakukan hal-hal tak pantas yang ditonton oleh orang lain. Dengan kedua pipi yang merona merah pada masing-masingnya, mereka berdua bangkit berdiri. Setelah membantu menepuk-nepuk bagian belakang dress Olivia yang sedikit ditempeli krikil, Eros melepas jasnya — yang tentunya sudah basah sekali — untuk diberikan ke Olivia.

“Ih basah, berat!” tolak gadisnya itu sambil menyerahkan kembali pakaian berbahan tebal itu pada Eros. “Udah terlanjur basah ini, kitanya.”

“Udah pakai aja,” Eros mendorong kembali uluran tangan Olivia, “dibanding kepala kamu kena air hujan lebih lama lagi. Mobilnya masih agak jauh, tuh.”

“Huh,” Olivia mengeluh. “Iya, ya, jauh.”

“Siapa suruh larinya cepet banget, udah kayak atlet sprint.” Eros mengambil jas miliknya dari tangan Olivia dan menyampirkannya ke pucuk kepala sang kekasih. Ia atur sampai rambut dan bagian lain wajah Olivia tertutupi, tak lagi dihantam langsung oleh hujan yang entah mengapa masih enggan berhenti.

“Yuk,” ajak Eros sambil menyodorkan telapak tangannya, minta disambut. Tak ingin mencari perkara, Olivia langsung menggenggam tangan kekasihnya. Ia selipkan jemarinya di sela-sela jari tangan Eros untuk mengeratkan pegangan mereka, saling bergandengan tangan sembari berjalan santai ke arah mobil yang diparkir sembarangan di kejauhan.

“Jadi,” Olivia membuka percakapan setelah selama beberapa menit keduanya berdiam, “kita masih bareng-bareng, kan?”

Eros memiringkan tubuhnya sedikit, menghadap kekasihnya. “Maunya gimana?”

Diumpan balik, Olivia merespon dengan mengerucutkan bibirnya kesal seraya melayangkan pukulan bercandanya ke lengan Eros, bertubi-tubi.

“Aduh! Iya, iya, masih dong!” Lelaki itu mengelus lengannya guna mengurangi rasa sakit. Meskipun niat pukulnya bercanda, sakitnya sungguhan. Lelaki itu tersenyum manis seraya mengulurkan tangan kirinya untuk membenarkan posisi jas basahnya di atas kepala Olivia. “Pokoknya, aku nggak bakal ninggalin kamu.”

“Janji?”

“Janji.”

yourdustbin, 2023

--

--

No responses yet